Iklan

 


 


Refleksi HUT MA, Keadilan di Ujung 8 Dekade

Selasa, 19 Agustus 2025, Agustus 19, 2025 WIB Last Updated 2025-08-20T00:16:38Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini

 


*Oleh: Yakub F. Ismail*


19 Agustus adalah momen spesial bagi Mahkamah Agung (MA). Momen tersebut merupakan hari berdirinya lembaga penegak hukum tersebut. 


Setelah genap delapan dekade berperan sebagai perisai keadilan, MA kini terus meneguhkan komitmen untuk menegakkan hukum dan menjaga muruah konstitusi. 


Tugas yang tentu saja tidak mudah dijalankan. Ujian, tantangan dan halauan tiada henti datang menghadang. Tidak jarang, institusi tersebut berada dalam tekanan dan bahaya.


Namun, bukti konsistensi menjadikan MA terus berdiri kokoh hingga sekarang. 80 tahun bukan waktu yang singkat. 


Ibarat manusia, usia delapan dekade adalah waktu yang cukup lama dilalui. Banyak pengalaman, kontribusi dan dedikasi tanpa batas yang telah diberikan kepada negeri ini.


Di ujung toga itu, harapan rakyat tertanam. Keadilan harus terus dirawat demi memberikan rasa keamanan dan keadilan bagi seluruh mashyarakat.


*Di Balik Palu*


Di balik toga dan palu sidang, tersimpan makna mendalam bagi Mahkamah Agung. Toga dan palu bukan sekadar simbol otoritas hukum, melainkan penanda tanggung jawab yang tak mudah diemban. 


Palu hakim melambangan kewenangan dan wibawa hukum. Setiap keputusan yang diambil melalui ketukan palu, tidak hanya menandai dimulainya atau berakhirnya konferensi, namun melambangkan bahwa hukum sedang berbicara melalui putusan.


Palu merupakan representasi dari kekuasaan kehakiman yang independen, netral dan penuh integritas yang berdiri di atas konstitusi dan dijalankan atas nama keadilan demi rakyat.


Gema di balik palu mencerminkan legitimasi putusan yang mengikat setiap warga negara. Bagi Mahkamah Agung, palu tidak hanya berfungsi sebagai alat seremonial, tetapi juga melambangkan keadilan dan kepastian hukum. 


Di balik palu terdapat komitmen yang tulus menjaga muruah peradilan, menegakkan supremasi hukum, dan menjamin perlindungan terhadap hak-hak setiap warga negara. 


Palu adalah benda sakral, ia mengingatkan bahwa setiap putusan yang dibuat bukan semata-mata hasil dari penafisran pasal-pasal yang kaku, melainkan buah dari keseimbangan antara hukum, keadilan dan nurani yang bersih dari seorang hakim.


Lebih jauh lagi, di balik palu melekat citra Mahkamah Agung sebagai penjaga keadilan (The Guardian of Justice).


Sebagai penjaga keadilan, MA tidak pernah menyebutkan setiap ambiguitas maupun perintah terhadap apa yang dianggap kebenaran itu sendiri.


Dengan kata lain, setiap keputusan yang dihasilkan akan membentuk kepercayaan masyarakat, sehingga menghindari terjadinya keraguan. 


Oleh karena itu, palu bukan sekedar lambang kekuasaan yudisial, tetapi, ia merupakan amanah untuk menjaga legitimasi peradilan agar tidak kehilangan makna terdalamnya.


*Mengadili Tanpa Takut*


Tugas hakim selain memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, juga memikul tanggung jawab dan keberanian moral yang tidak biasa.


Hakim adalah manusia paling mulia yang mampu menerjemahkan keadilan dalam berbagai dimensi yang berbeda. 


Dan semua itu dilakukan dengan satu keteguhan hati dan keberanian melawan setiap kejahatan yang merusak citra keadilan.


Mengadili tanpa rasa takut merupakan sebuah prinsip fundamental yang melekat dalam diri setiap hakim. 


Sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim memang seringkali berada pada posisi yang penuh tekanan dan dilema moral.


Hakim sering menghadapi tekanan kekuasaan, intervensi politik, pengaruh ekonomi, maupun desakan opini publik dan media massa. 


Situasi ini tentu tidak mudah dilalui jika tidak diimbangi dengan kesiapan mental dan keberanian untuk menegakkan kebenaran.


Mengadili tanpa rasa takut juga bukan tentang bagaimana seorang hakim bertindak tanpa rasa. Tapi ia yang selalu mengedepankan sikap tanpa ragu menjunjung hukum tanpa syarat. 


Dalam pertimbangan pengambilan keputusan, ada cerminan integritas yang tidak dapat diabaikan. Di sana terdapat sebuah pesan penting: apakah seorang hakim tunduk pada godaan dan tekanan, ataukah ia terus konsisten dalam jalan lurus sebagai penjaga moral masyarakat.


Sebuah keberanian moral dan intelektual tidak hanya berimplikasi pada diri pribadi seorang hakim, melainkan juga pada kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan itu sendiri. 


Jika hakim berani mengadili tanpa memandang bulu, maka masyarakat akan menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap seluruh lembaga peradilan dan para penegak hukum yang bekerja dalam merawat kepentingan publik.


Sebaliknya, jika hakim gentar apalagi tunduk terhadap intervensi maupun tekanan, maka runtuhlah legitimasi hukum dan peradilan di mata rakyat.


Sekali lagi, mengadili tanpa rasa takut adalah wujud kesetiaan seorang hakim terhadap konstitusi dan sumpah jabatan. 


Tugas mulia itu menuntut kemurnian hati nurani, kebersihan jiwa, keberanian moral dan intelektual untuk menafsirkan hukum secara jernih tanpa rasa takut maupun pamrih.


Akhirnya, mengadili tanpa rasa takut bukan semata-mata semboyan idealistik yang mengawang-awang. Ia adalah panggilan jiwa yang menegaskan bahwa hukum hanya akan bermakna bila ia ditegakkan dengan penuh keberanian, keteguhan, tanpa pamrih, dan sepenuhnya demi membela kepentingan rakyat.


*Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia*

Komentar

Tampilkan

Terkini