Oleh: Kefas Hervin Devananda [Romo Kefas], Ketua Pewarna Indonesia Provinsi Jawa Barat
Jakarta – Sebagai institusi negara yang memiliki mandat untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) diharapkan dapat menjadi teladan dalam penegakan prinsip-prinsip keadilan dan kebebasan sipil. Namun, pernyataan dari Staf Khusus Menteri Hukum dan HAM, Thomas Harming Suwarta, yang menyatakan kesiapannya menjadi penjamin penangguhan penahanan bagi tujuh tersangka dalam kasus perusakan rumah singgah dan pembubaran kegiatan rohani di Cidahu, Sukabumi, memunculkan diskursus publik yang serius mengenai arah keberpihakan lembaga ini.
Dalam konteks penegakan hak asasi manusia, sikap tersebut menimbulkan pertanyaan: apakah tindakan tersebut mencerminkan keberpihakan terhadap keadilan dan korban, atau justru berpotensi memberi ruang bagi perilaku intoleran?
Sebagai lembaga yang seharusnya berdiri di garis depan dalam menjaga dan menjamin hak-hak konstitusional warga negara, termasuk hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, Kemenkumham seharusnya merujuk pada prinsip-prinsip yang telah diatur secara tegas dalam:
Pasal 18 (1) dan (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang menegaskan hak setiap individu untuk beragama dan menjalankan keyakinannya secara bebas, tanpa paksaan.
Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945, yang menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan meyakini kepercayaannya.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mengatur secara menyeluruh perlindungan hak-hak dasar, termasuk kebebasan beragama.
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Publik, yang menuntut akuntabilitas dan keberpihakan pada nilai-nilai universal, termasuk perlindungan terhadap kelompok rentan.
Keputusan atau pernyataan publik yang berpotensi ditafsirkan sebagai pembiaran terhadap tindakan intoleran—tanpa diimbangi sikap tegas terhadap pelanggaran yang dialami korban—dapat melemahkan legitimasi moral dan politik lembaga tersebut. Dalam negara hukum, keberpihakan bukanlah soal individu atau golongan, melainkan soal prinsip dan konstitusi.
Sudah saatnya Kemenkumham menunjukkan secara nyata bahwa keberadaannya tidak sekadar simbolis. Lembaga ini harus mampu berdiri tegas dalam menghadapi praktik-praktik yang merongrong kebebasan sipil dan keberagaman, serta tidak ragu mengambil langkah korektif ketika terjadi pelanggaran.
Seruan untuk “Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai Hak Asasi Manusia” bukanlah slogan kosong, tetapi komitmen yang harus dihidupi dalam setiap kebijakan dan tindakan. Apabila hal ini tidak dijadikan pedoman, maka kepercayaan publik terhadap lembaga yang vital ini akan terus tergerus.
Kemenkumham memiliki kesempatan penting untuk menjadi pelindung hak-hak warga negara yang sejati. Komitmen terhadap keadilan, perlindungan korban, dan sikap tegas terhadap intoleransi harus menjadi landasan moral dan hukum dalam menjalankan tugasnya.
Romo Kefas