Iklan

 


 


Ketum PP KAMMI: Desak Polri Segera PTDH Pelaku Refresif dan Ingatkan Rakyat Fokus Tuntutan Ke DPR

Sabtu, 30 Agustus 2025, Agustus 30, 2025 WIB Last Updated 2025-08-30T12:46:21Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini

 



Di tengah udara panas akhir Agustus 2025, ribuan pelajar, buruh, dan unsur masyarakat sipil tumpah ruah di jalanan. Di depan gedung DPR, suara pekikan tuntutan terdengar keras: tolak tunjangan anggota DPR yang fantastis, mencapai Rp 50 juta per bulan. Sorakan itu bukan sekadar ekspresi spontan, melainkan luapan kekecewaan yang telah lama menumpuk. Isu tersebut merupakan akumulasi dari berbagai peristiwa tentang perilaku DPR yang terus menciderai kepercayaan rakyat. Bagaimana mungkin, ketika rakyat masih berjibaku dengan harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan, dan kesehatan, para wakil rakyat justru menambah kenyamanan hidup mereka dengan fasilitas berlebih?


Gambaran refleksi yang marak dari Jakarta hingga Medan menjadi potret nyata bahwa hati nurani rakyat sedang terusik. Di ibu kota, mahasiswa berkumpul dengan para buruh yang menyuarakan ketidakpuasan, bahkan sebagian aksi berakhir ricuh setelah aparat menghalau massa. Almarhum Affan Kurniawan menjadi tragedi ironi dimana rakyat melakukan pembekuan terkena efek perlakuan represif aparat. Desakan pengusutan secara tuntas kasus tersebut yang dilakukan oleh pelaku aparat penegak hukum terus bergulir. Ketua Umum Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI), Ahmad Jundi, mendesak Polri segera mengusut tuntas pelaku peristiwa tersebut dan meminta Polri untuk tidak melakukan tindakan represif terhadap para demonstran. 


Jauh berbeda dengan situasi di Medan, massa bahkan merobohkan gerbang DPRD Sumut sebagai simbol bahwa ketidakadilan tembok tidak bisa lagi dipertahankan. Sementara itu, media asing turut menyoroti, menyandingkan tunjangan DPR sebesar Rp 50 juta dengan upah minimum buruh Jakarta yang hanya sekitar Rp 5 juta. Perbandingan yang menyakitkan, sekaligus membuka mata dunia tentang betapa timpangnya kondisi di negeri ini. 


Jundi menegaskan:

 “Kami tidak menolak kesejahteraan bagi pejabat publik, tetapi yang kami tuntut adalah keadilan. Peningkatan tunjangan DPR sebesar Rp 50 juta per bulan adalah bentuk ketidakpekaan di tengah rakyat yang masih berjuang untuk hidup layak. Rakyat jangan dibiarkan terpecah dalam narasi adu domba. Persatuan adalah kunci agar suara kritis kita benar-benar didengar.”


Demonstrasi adalah tradisi demokrasi Indonesia. Dari era reformasi 1998 hingga penolakan revisi UU KPK atau omnibus law, suara rakyat di jalanan selalu menjadi alat pengingat bagi pemerintah. Namun, sejarah juga mengajarkan, gerakan rakyat bisa melemah jika dipengaruhi oleh kepentingan politik praktis. Ada risiko besar bahwa isu kenaikan tunjangan DPR hanya dijadikan komoditas politik oleh sebagian kelompok, sehingga rakyat terjebak dalam meremehkan dan melupakan esensi perjuangan.


KAMMI menegaskan, perjuangan ini bukan semata soal menolak tambahan izin DPR. Lebih jauh dari itu, ini adalah momentum untuk membicarakan ulang wajah politik Indonesia. Kita harus bertanya: mengapa sistem politik kita membiarkan fasilitas mewah pejabat tumbuh, sementara rakyat masih kesulitan mendapat pelayanan dasar? Mengapa setiap kali ada kebijakan yang menyangkut kepentingan elite, prosesnya begitu cepat, tetapi ketika menyangkut rakyat, selalu penuh alasan dan penundaan?


Jundi juga menjelaskan tentang posisi gerakan siswa. Ia menuturkan, “Kami berdiri di sini bukan untuk kepentingan partai, bukan untuk kepentingan elit, tetapi untuk kepentingan rakyat Indonesia. Mari kita jaga persatuan, mari kita fokus pada isu utama. Jangan biarkan gerakan ini ditunggangi kepentingan sempit. Kita ingin DPR sadar: keadilan sosial bukan untuk segelintir orang, melainkan bagi seluruh rakyat".


Oleh karena itu, KAMMI mengajak seluruh masyarakat untuk menjadikan peningkatan ini sebagai momentum membangun agenda perubahan yang lebih besar. Suara rakyat tidak boleh berhenti pada penolakan, melainkan harus diarahkan pada tuntutan yang konkret: transparansi anggaran DPR, fasilitasi pejabat publik, dan realokasi anggaran untuk sektor yang benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat. Dengan demikian, penindasan bukan hanya simbol perlawanan, tetapi juga jalan menuju reformasi sistemik.


Papao 

Komentar

Tampilkan

Terkini