Jakarta, 29 Oktober 2025 – Di jantung ibu kota, di tengah gemerlap gedung pencakar langit, masih ditemukan persoalan terkait praktik penagihan utang oleh oknum debt collector yang dinilai meresahkan. Harapan publik atas komitmen penegakan hukum kerap dirasakan belum optimal, sehingga korban merasa negara belum hadir sepenuhnya melindungi mereka.
Setiap dering telepon bisa menjadi tekanan, setiap ketukan pintu dapat menghadirkan rasa takut. Itulah situasi yang dirasakan sebagian masyarakat yang mengaku menjadi korban penagihan utang oleh oknum yang diduga menggunakan pendekatan intimidatif. Sebut saja Ibu Ani, seorang orang tua tunggal dengan dua anak. Ia mengaku kehilangan sepeda motornya yang diambil penagih utang di tengah jalan. Padahal, kendaraan tersebut adalah sumber penghasilannya sebagai ojek online. Air matanya menjadi simbol kepedihan masyarakat kecil yang merasa lemah di hadapan persoalan ini.
Pasal 368 KUHP, yang melarang perampasan dan pemaksaan, seharusnya mampu memberikan perlindungan. Begitu pula POJK Nomor 6/POJK.07/2022 yang melarang kekerasan, intimidasi, serta perampasan kendaraan tanpa putusan hukum. Namun, korban menilai implementasi aturan tersebut masih belum maksimal di lapangan.
Pertanyaan pun muncul dari publik: mengapa praktik penagihan yang dianggap meresahkan masih terjadi? Mengapa korban merasa belum mendapat perlindungan hukum yang optimal? Banyak pihak menilai persoalan ini bukan hanya soal oknum, namun juga sistem pengawasan, literasi keuangan, kesenjangan ekonomi, serta dugaan adanya kelalaian para pihak dalam proses penagihan.
Di tengah keresahan masyarakat, muncul kecurigaan mengenai adanya pola penagihan yang tidak sesuai prosedur. Sebagian korban menduga terdapat jaringan penagih utang yang bekerja secara terstruktur untuk mengambil alih aset debitur secara cepat. Dugaan-dugaan tersebut membutuhkan pembuktian hukum dan penindakan tegas dari aparat berwenang.
Masyarakat berharap agar aparat penegak hukum bertindak sesuai aturan dan memberikan rasa aman bagi para korban. Penegakan hukum yang jelas dan transparan diharapkan dapat menghapus dugaan praktik-praktik penagihan yang tidak sesuai aturan.
Solusi yang banyak disuarakan publik antara lain:
pembentukan satuan tugas khusus untuk pengawasan penagihan utang,
peningkatan edukasi masyarakat mengenai hak dan kewajiban konsumen,
peningkatan pengawasan perusahaan pembiayaan dan penagih utang,
serta revisi regulasi agar tidak ada ruang penyalahgunaan wewenang.
“Jer basuki mawa béya,” setiap keberhasilan butuh pengorbanan. Namun, banyak korban merasa sudah terlalu banyak air mata yang jatuh. Karena itu, masyarakat mendorong agar prosedur hukum dijalankan dengan profesional, tanpa intimidasi dan kekerasan.
Jangan biarkan ketakutan menguasai warga kecil. Laporkan setiap pelanggaran prosedur penagihan utang kepada pihak berwenang agar dapat ditindak sesuai hukum. Masyarakat percaya bahwa dengan keberanian melapor dan penegakan hukum yang adil, Indonesia dapat menjadi negara yang benar-benar melindungi warganya.
Oleh: Kefas Hervin Devananda, S.H., S.Th., M.Pd.K
Jurnalis Senior Pewarna Indonesia – LKBH Pewarna Indonesia




